Monday, March 14, 2016

Satu Jam Bermain ‘Teenage Mutant Ninja Turtles 2: Battle Nexus’

Satu jam tidaklah cukup untuk bermain video game. Apalagi video game zaman sekarang memiliki rentang waktu permainan hingga berjam-jam dengan tingkat kesulitan yang memaksa kalian memainkannya berulang-ulang. Tapi satu jam cukup untuk memberikan kesan kepada gamer mengenai tampilan game tersebut, dari segi visual, audio, dan gameplay. Dan bagi saya, Gamer Jalanan, satu jam sudah cukup untuk mengetahui bagaimana keseluruhan permainan bakal berjalan, dan cukup waktu untuk menentukan melanjutkan permainan atau menghentikannya.

Tahun 2016 bisa dibilang sebagai tahunnya Teenage Mutant Ninja Turtles atau disingkat TMNT, yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Kura-Kura Ninja. Bagaimana tidak, di tahun ini akan rilis film layar lebar terbaru Kura-Kura Ninja, Out of Shadows dan juga video game terbarunya, Mutants in Manhattan. Nah, menyambut perilisan film dan game terbaru Kura-Kura Ninja tersebut, Satu Jam Bermain kali ini akan memainkan game ‘Teenage Mutant Ninja Turtles 2: Battle Nexus’ buatan Konami yang rilis tahun 2004.


Game ini, kita sebut saja Battle Nexus biar lebih mudah, adalah adaptasi dari serial animasi TMNT yang tayang tahun 2003. Serial animasi tersebut merupakan reboot dari serial animasi TMNT di awal-awal era 90-an, yang merupakan serial animasi favorit saya waktu itu. Bedanya, serial animasi reboot ini dibuat dengan tone lebih serius sebagaimana komik aslinya yang kelam. Tapi saya justru lebih suka versi 2003 ini ketimbang versi 90-an dan juga versi terbarunya buatan Nickelodeon. Buat saya, serial animasi TMNT versi 2003 lebih keren, lebih banyak aksi, dan lebih gelap, cocok banget dengan konsep Kura-Kura Ninja.

Salah satu perkelahian di Episode 0.
Tapi lupakan serial animasinya, sekarang kembali ke game Battle Nexus, yang merupakan game adaptasi kedua dari serial animasi tahun 2003 tersebut, tepatnya di season keduanya. Seperti game pertamanya, Battle Nexus rilis dalam berbagai platform mulai dari PlayStation 2, GameCube, Xbox, PC, dan juga konsol portabel Game Boy Advance (GBA). Untuk kali ini saya memainkan gamenya yang versi PC alias komputer desktop. Sebelumnya saya memainkan gamenya yang versi GBA, yang sangat berbeda dengan versi konsol dan PC-nya yang hadir dalam lingkungan tiga dimensi penuh. Saya penasaran dengan versi PC dari game ini yang saya baca di internet banyak mendapat kritikan buruk, khususnya game pertamanya.

Pada akhirnya saya mendapatkan file-gamenya dan memainkannya di laptop saya. Game dibuka dengan cutscene pendek siluet mata kura-kura ninja, beralih ke perkotaan dan luar angkasa, dan berhenti di title screen. Press Start lalu muncul opsi standar video game, yaitu new game, continue, options, dan quit. Mengingat kontrol game ini di PC menggunakan tombol-tombol keyboard, saya terlebih dahulu memilih options untuk mengatur tombol-tombol yang mesti ditekan. Tombol-tombol aksinya terbilang sederhana, meliputi weak attack, strong attack, jump, guard, dan change alias mengganti kura-kura.

Setelah mengatur tombol, saya kembali ke title screen dan memulai new game. Muncul layar pilihan kura-kura ninja, ada empat jendela di sana yang peruntukkannya bagi satu sampai empat pemain. Game ini memang bisa dimainkan secara multiplayer hingga empat pemain, salah satu fitur yang oleh banyak penggemar kwartet kura-kura ini mesti ada dalam gamenya. Fitur multiplayer hingga empat pemain ini tentu menyenangkan, mengingat pada game pertamanya yang rilis setahun sebelumnya fitur multiplayer hanya sampai dua pemain. Saya pun menyusun urutan kura-kura ninja saya mulai dari favorit saya Leonardo, Raphael, Donatello, dan Michaelangelo.

Foot Ninja selalu siap menghadang.
Setelah menyusun urutan kura-kura, permainan pun dimulai, membawa saya ke episode 0-1, yang merupakan episode tutorial game ini. Saya hadir sebagai kura-kura pertama dalam susunan kura-kura ninja saya, Leonardo. Bersetting markas Foot Ninja yang terlihat seperti gudang, saya disambut permainan dengan perspektif tiga dimensi berwarna tajam. Beberapa objective dan petunjuk permainan terpapar saat saya bergerak ke sana ke mari menjelajahi tempat tersebut, menghajar para Foot Soldier.

Perintah-perintah yang muncul itu juga menginformasikan bahwa setiap kura-kura memiliki serangan dan kemampuan khas yang tidak dimiliki kura-kura lainnya. Semisal, Donatello bisa melayang di udara untuk beberapa detik dengan nunchaku, dan hanya Michaelangelo yang bisa membuka pintu yang terkunci secara digital. Dengan kemampuan unik ini, pemilihan kura-kura yang tepat untuk momen-momen tertentu sangat diperlukan. Saya bisa mengganti kura-kura yang saya mainkan, dari Leonardo ke Raphael dan kura-kura lainnya dengan tombol change kapan pun saya mau. Fitur ini menurut saya bagus, karena bisa membuat saya menjajal semua kemampuan kura-kura yang ada, tanpa mesti terpaku pada satu karakter.

Episode tutorial yang bertempat di Shredder’s Skycrapper ini terbagi dalam dua level yaitu Backyard dan Rooftop. Meski disebut episode tutorial, namun tutorial yang disampaikan dalam dua level ini tidak bersifat mengikat, yang artinya tanpa saya melengkapi petunjuk tutorial yang ada, saya masih bisa melanjutkan progres permainan. Tentu ini mengecewakan bagi saya karena tidak bisa memanfaatkan tutorial dengan maksimal. Apalagi tutorial yang diajarkan sendiri bisa dibilang dapat dipelajari sendiri secara mandiri seiring berlangsungnya permainan. Setidaknya dalam dua level pertama ini saya bisa merasakan kura-kura ninja dalam lingkungan tiga dimensi, setelah sebelum-sebelumnya memainkan game TMNT dalam format dua dimensi.
Mouser kurang terasa menyebalkan di Battle Nexus.
Selain Foot Ninja, robot mekanis Mouser juga menjadi lawan yang mesti dihadapi di level ini. Sayangnya, si pengunyah menyebalkan ini tidak terlalu menyebalkan di game ini, tidak seperti di game-game 2D TMNT yang cukup membuat kesal saat mereka mengigit tangan saya. Di penghujung level tutorial kedua, episode 0-2, saya berhadapan dengan boss pertama game ini, Hun. Tak sulit menjatuhkan si besar dari Purple Dragon ini, mengingat pola serangannya sangat mudah dipelajari. Menggunakan kombinasi serangan meliputi weak dan strong attack, jump, serta shuriken, cukup membuat adegan duel terasa menyenangkan. Belum lagi jurus spesial yang dimiliki masing-masing kura-kura.

Menyelesaikan Shredder’s Skycrapper memunculkan sebuah peta yang terbuka, dengan akses ke station, episode 1, dan episode 2. Station merupakan lobi permainan rumahnya para kura-kura, yang memiliki beberapa fitur di antara 2nd time around, tournament, dan computer. Saya kurang mengerti dengan 2nd time around, tapi sepertinya ini sejenis achievement. Kemudian di fitur tournament, pilihan pertama yang terbuka adalah Open Brawl di mana saya mesti mengalahkan sejumlah foot soldier untuk menang. Saya penasaran dengan Battle Nexus Tournament yang sayangnya belum bisa saya mainkan. Dan fitur lainnya adalah Computer, yang merupakan tempat bagi saya untuk melihat bonus-bonus material yang saya dapatkan dengan menyelesaikan permainan.

Rasanya sudah cukup untuk station, sekarang saatnya saya untuk melanjutkan permainan. Awalnya saya bingung mesti memilih yang mana, apakah episode 1 The Cavern atau episode 2 TCRI. Tapi mengingat bagusnya sebuah game dimainkan secara kronologis, maka pilihan saya jatuh pada episode 1, yang membawa ke sub level 1-1. Saya sendiri merasa aneh kenapa permainan bercabang dalam dua episode yang tidak kronologis seperti ini. Menurut saya ini merusak permainan karena saya bisa memulai di episode 2 tanpa melewati episode 1 yang bisa saya mainkan setelah episode 2. Semestinya rute alternatif seperti ini tidak dibuat dalam episode yang kronologis, apalagi mengingat game ini didasarkan pada serial animasi yang tentu jalan ceritanya linier.

Elemen puzzle dalam episode 1 yang menurut saya kurang pas.
Pada episode 1-1, saya dibawa memasuki sebuah lingkungan gua, sepertinya gua bawah tanah. Saya disambut langit-langit yang runtuh dan bebatuan yang menggelinding ke arah saya. Setelah itu, saya mesti melewati serangkaian pijakan yang bersifat puzzle, dengan sebuah kapak besar bergerak ke kanan kiri siap menyayat saya. Entah kenapa rasanya elemen puzzle seperti ini tidak terasa perlu dalam game TMNT yang menurut saya lebih tepat bila lebih banyak beorientasi ke adegan aksi. Sebenarnya ini merupakan campuran yang menarik sih, tapi rasanya ada yang tidak pas saja.

Di dalam gua ini lawan-lawannya bisa dibilang bervariasi, dengan aneka makhluk yang mesti dihadapi mulai dari dinosaurus yang baru menetas dari telur dan juga tumbuhan beracun yang menyemprotkan cairan menyebalkan, yang bisa membuat saya kebingungan. Saya tidak akan menjelaskan kebingungan apa, kalian bisa mencobanya sendiri. Yang perlu saya kritik dari level gua ini adalah elemen 3D platformer yang rasanya tidak perlu ada. Elemen tersebut adalah platform bergerak yang akan membawa kura-kura ke sisi lain gua ini. Anehnya, ketika saya berada di atas platform itu, karakter saya terkunci dan tidak bisa melewati batas yang ada. Padahal semestinya saya bisa terjatuh bila keluar dari platformer. Dengan platform yang mengunci tersebut, tentu menunjukkan bahwa elemen ini semestinya tidak perlu ada karena jelas menjadikannya sangat mubazir.

Lantas, saya tiba di sebuah ruangan di dalam gua, di mana saya mesti mengalahkan dua monster yang ada di sana agar bisa melanjutkan permainan. Tidak jelas apakah kedua monster ini adalah boss, mengingat tidak ada indikator hit point sebagaimana yang dimiliki Hun di boss battle tutorial. Kedua monster ini salah satunya menyemburkan racun yang membuat bingung, dan yang lainnya menjerat dengan jaring. Masalahnya adalah, keduanya begitu powerful, paling tidak di mata saya. Maksud saya, saya sudah mencoba menghantam mereka berkali-kali, namun mereka tak juga lenyap. Kondisi ini seolah menunjukkan mereka adalah boss di level ini. 

Elemen platform yang sebenarnya tidak perlu.
Pada akhirnya saya kehabisan hit point dan permainan berakhir, memaksa saya mengulang dari awal level. Sayangnya itulah yang kalian baca, saya mesti mengulang dari awal level padahal cukup merepotkan juga untuk bisa mencapai ruangan dua monster tersebut, karena mesti bermain-main dengan teka-teki di sepanjang gua. Saya tidak menyalahkan ketiadaan checkpoint, mengingat pada tahun dirilisnya game ini, checkpoint berdekatan masih belum sewajar dalam game-game saat ini. Tapi entah karena saya yang belum memahami pola serangan dua monster tersebut atau mungkin karena saya payah, saya kembali gagal menghabisi mereka berdua. Membuat saya kembali mengulang yang lagi-lagi hasilnya sama.

Mencoba suasana baru, saya lantas menjajal episode 2 yang sudah bisa saya akses sejak menyelesaikan episode tutorial. Kali ini saya memasuki sebuah gedung milik TCRI, yang menurut objective permainan akan menyingkap tabir asal mula para reptil remaja ini. Episode 2-1 bisa dibilang kebalikan dari episode 1-1, di mana hampir tidak ada elemen puzzle di sini. Yang ada saya mesti memukul para grunt terus-menerus, seolah mereka itu ada banyak sekali. Ya, saking banyaknya dan muncul terus-menerus, para robot ini terasa sangat membosankan, begitu repetitif. Masalahnya adalah tak banyak variasi yang ditampilkan oleh para grunt ini. Hal ini mengingatkan saya pada game TMNT di NES dan Mega Drive yang nyaris unplayable karena banyaknya prajurit musuh.

Jumlah lawan yang seakan tak ada habis-habisnya inilah yang membawa saya kehabisan hit point. Pada akhirnya saya berakhir sama seperti di episode 1-1, dan mau tak mau mengulang permainan dari awal level. Bedanya, pada level TCRI ini saya bisa membuat kemajuan dengan mencatatkan progres lebih baik dibandingkan percobaan sebelumnya. Saya mencapai sebuah area baru, ya walaupun kembali mengalami game over. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh rasa bosan atau karena tingkat kesulitan normal yang tidak bisa saya hadapi, tapi saya rasa dalam bebefapa kali percobaan saya bisa menyelesaikan level ini.

Sudut kamera yang membingungkan membuat saya kalah melawan dua monster ini.
Dengan beberapa kali trial & error, pada akhirnya waktu satu jam itu terasa begitu cepat. Hanya episode tutorial yang bisa saya selesaikan dalam kurun waktu tersebut, dan itu bisa dibilang memalukan buat saya. Padahal saya menggunakan tingkat kesulitan normal, yang biasanya bisa saya taklukkan. Mungkin dikarenakan saya kurang begitu optimal saat memainkannya, mengingat saya memainkannya selepas pulang kerja berat. Bisa juga dikarenakan saya sudah terlanjur membaca review buruk mengenai game ini, yang membuat semangat saya untuk memainkan game ini jadi sedikit berkurang.

Yup, satu jam telah terlewati dan sekarang saatnya untuk memberikan kesimpulan terhadap game ini. Bicara grafis saya pikir tidak ada yang salah dengan game ini. Battle Nexus hadir dengan sentuhan warna dan tekstur standar game-game kala itu. Apalagi developer game ini adalah Konami, yang sudah tidak diragukan lagi kualitas grafis gamenya. Keempat kura-kura digambar dengan baik, dengan warna-warna yang tajam yang sanggup merefleksikan serial animasinya. Intinya kalian yang menggemari serial animasinya akan bisa segera terbawa dalam game ini tanpa mesti menyesuaikan diri dengan gaya gambar yang digunakan.

Sayangnya tidak banyak variasi latar yang dihadirkan di sepanjang satu jam saya memainkan game ini. Hal ini menjadikan lingkungan dalam Battle Nexus terkadang terasa kosong, paling tidak itulah yang saya rasakan dalam waktu satu jam memainkan game ini. Apalagi ada beberapa benda yang rasanya salah tempat, seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Semestinya Konami bisa lebih mencurahkan waktu dalam menambahkan elemen-elemen yang akan semakin menghidupkan suasana dan aksi para ninja. Sehingga kesannya latar hanya tempelan yang tidak berarti. Beruntung kekosongan ini cukup terisi dengan efek-efek grafis yang terbilang menawan.

Robot penjaga ini seolah tiada habisnya.
Kemudian dari segi suara, jujur saya bingung bagaimana mau menilainya. Saya tidak tahu apakah file yang saya dapatkan itu tidak lengkapkah, atau karena memang begitu suara dalam game ini. Masalahnya adalah, sama sekali tidak ada musik latar yang mengiringi permainan. Padahal saya sudah mengatur volume BGM secara maksimal, tapi tetap saja tidak ada musik latar yang muncul. Ini tentu disayangkan sekali, mengingat musik latar yang tepat bisa mengantar saya untuk hanyut dalam permainan yang disajikan. Correct me if I’m wrong, bila Battle Nexus versi PC milik kalian memiliki BGM, beritahukan ke saya agar saya tidak salah menilai.

Meski tak ada BGM, tapi saya cukup terhibur, atau tepatnya memaksakan diri terhibur dengan voice acting setiap karakter kura-kura ninja yang ada. Sepertinya voice acting dilakukan oleh para pengisi suara serial animasinya. Saya akui, voice acting membantu dalam menghidupkan karakter kura-kura ninja yang kesehariannya penuh dengan obrolan. Game-game TMNT terdahulu pun meski diisi voice acting yang minimalis, sudah cukup menghidupkan image makhluk hijau ini. Efek suara yang ada juga lumayan, walaupun not so special.

Sisi narasi atau cerita mungkin merupakan yang terlemah dari game ini. Sekali lagi correct me if I’m wrong, karena mungkin saja file game Battle Nexus milik saya tidak lengkap, sehingga saya tidak melihat adanya cutscene atau potongan-potongan cerita yang bisa jadi ada. Beritahukan ke saya bila hal tersebut ada dalam game kalian. Di luar itu, narasi Battle Nexus terlalu setia dengan serial animasinya. Alhasil, penceritaan dalam gamenya pun jadi tidak menarik. Maksud saya, ini jadi seperti sekadar memindahkan cerita animasi ke dalam game. 
Entah kenapa lingkungan dalam Battle Nexus terasa 'kosong'.
Padahal, serial animasi TMNT merupakan sebuah kesatuan dengan beberapa season yang ada, yang tidak dapat berdiri sendiri. Sedangkan gamenya, adalah sesuatu yang tunggal, yang mestinya bisa berdiri sendiri tanpa memerlukan informasi-informasi lainnya di luar video gamenya. Lihat saja bagaimana game ini dimulai dengan aksi di menara Shredder, lantas kembali ke rumah (baca: selokan), lantas bercabang dalam dua level yang mestinya kronologis, episode 1 dengan kisah gua bawah tanah dan episode 2 dengan kisah pabrik kimia asal mula mutan. Percabangan rute alternatif yang tidak kronologis ini pun bisa dibilang membuat ceritanya jadi berantakan, membuat saya bingung seperti apa sebenarnya inti cerita dari game ini.

Saya akan membandingkan narasi Battle Nexus dengan game-game TMNT terdahulu serta dengan versi lain game ini di konsol portable, Game Boy Advance (GBA). Game-game TMNT terdahulu, yang rilis di NES, SNES, dan Mega Drive, memang didasarkan pada serial animasinya di era 90-an. Akan tetapi, dalam game-game yang juga dibuat Konami tersebut, ceritanya berdiri sendiri secara tunggal, bukan episodik yang hanya bisa dimengerti fans TMNT. Ambil contoh The Manhattan Project di NES, rilis tahun 1993, yang berkisah Shredder menerbangkan Kota Manhattan ke angkasa di awal permainan. Di sepanjang permainan, fokus utama cerita adalah mengembalikan Manhattan ke bumi, dengan setiap levelnya memiliki cerita tersendiri.

Sementara pada versi portable Battle Nexus yang rilis di GBA, fokus utama ceritanya adalah ketika para kura-kura terdampar di dunia Triceraton. Di sepanjang permainan, keempat jagoan kita ini bakal menjelajahi dunia ‘cermin’ ini, mengalahkan villain yang ada sembari berusaha kembali ke bumi. Tentu versi GBA jauh lebih bisa dimengerti dibandingkan versi PC-nya dengan sebuah kesatuan cerita yang utuh dalam satu game. Semestinya bisa disadari, apalagi oleh developer sekelas Konami, bahwa sebuah adaptasi serial televisi tidak harus selalu mirip dengan yang diadaptasi. Bahkan kalau bisa memiliki premis tersendiri yang bebas, namun tetap memiliki elemen-elemen dari serial yang diadaptasi. Padahal game-game TMNT terdahulu buatan mereka juga punya jalan cerita tersendiri.

Hun menjadi boss pertama sebagai lawan pamungkas di episode 0.
Tapi video game bukan tentang grafis, video game tentang sebuah permainan yang menyenangkan. Lantas apakah hal ini dimiliki Battle Nexus. Sayangnya tidak. Meski memiliki gameplay sederhana, sebagaimana game action 3D biasanya, berbagai elemen yang ada menurut saya kurang berhasil menyajikan permainan yang menyenangkan dan dirindukan. Memang menggebuki para foot ninja dan mouser terasa menyenangkan, tapi permainan yang begitu repetitif menjadikannya cepat membosankan. Saya sendiri merasa mengantuk dengan pola kemunculan musuh yang begitu stagnan ini. Bagi yang tidak terbiasa dengan genre ini, mungkin akan segera bosan dan berhenti bermain.

Kekuatan game ini mungkin ada pada fitur multiplayernya, yang bisa dimainkan hingga empat pemain. Konami tampaknya menjawab kritik dari penggemar atas game pertamaya yang rilis tahun 2003, yang minim fitur multiplayer ini.Tentu rasanya sangat seru bisa beraksi sebagai kura-kura ninja bersama kawan-kawan secara beramai-ramai. Apalagi ditambah dengan adanya fitur turnamen, yang bisa jadi sebuah penarik perhatian bagi saya untuk memainkannya bersama teman-teman mengisi waktu luang. Tapi di satu sisi, permainan akan menggantung bila rekan kita merasa bosan dan memutuskan berhenti bermain.

Kontrol tombol dalam Battle Nexus tidak mengecewakan. Kontrolnya terbilang sederhana dengan hanya beberapa variasi tombol tanpa kombinasi yang berat. Pergerakannya pun terbilang responsif, walaupun terkadang muncul miss alias pergerakan karakter dalam game tidak sinkron dengan tombol yang ditekan, khususnya dalam beberapa kombinasi serangan. Namun meski terbilang sederhana, akan cukup merepotkan bila memainkannya dengan keyboard. Kebetulan gamepad saya sedang rusak dan saya belum membeli yang baru. Memainmkan dengan keyboard cukup menyulitkan, khususnya untuk melakukan perintah guard. Jadi saya menyarankan kalian untuk memainkan game ini dengan gamepad bila kalian memilikinya. 
Saya tidak tahu apa fungsi cheat code ini, tapi saya tidak tertarik mengetahuinya.
Yang mengecewakan adalah pergerakan kameranya. Pada awalnya pergerakan kamera mungkin terlihat menyenangkan, yang selalu menyorot pergerakan karakter saya. Akan tetapi pada beberapa sudut, sorot kameranya tidak responsif, membuat arah gerakan saya jadi berantakan. Ketika saya sudah mengarahkan serangan ke satu arah, namun pergerakan kamera menjadikannya meleset ke arah lainnya. Ini sangat mengganggu, membuat saya terkena serangan tidak perlu. Saya bahkan bisa menyalahkannya sebagai penyebab saya gagal melewati episode 1 dan 2 pada satu jam permainan saya. Apalagi pada titik-titik tertentu, saat kamera bergerak otomatis tanpa bisa saya kontrol, terkadang pergerakannya terlambat yang membuat saya tidak tahu ke mana saya melangkah berikutnya.

Kesimpulannya, meski mengusung sebuah waralaba yang sempat populer dalam wujud video game, Teenage Mutant Ninja Turtles 2: Battle Nexus memiliki banyak kelemahan yang menjadikannya tak mampu menandingi game-game klasik pendahulu. Bukan itu saja, game ini meski hadir dengan kualitas grafis yang lebih baik, menurut saya kalah kualitasnya dengan versi portabel GBA. Gameplay-nya mungkin sederhana dan bisa dicerna siapa saja, tapi ya hanya itu, tidak ada hal spesial lainnya. Ini hanya game kura-kura ninja lainnya, yang sayangnya tidak bisa menghasilkan ‘hit’ sebagaimana dua game pendahulunya, The Arcade Game dan Turtles in Time. Padahal ya, game-game tersebut sama-sama dikembangkan oleh Konami.

Akhirnya, setelah satu jam bermain, saya pikir akan sulit bagi saya untuk kembali memainkan game ini, walaupun kondisinya memungkinkan. Saya akan lebih memilih memainkan Turtles in Time atau The Manhattan Project dibandingkan game ini. Atau kalaupun saya memainkan kembali Battle Nexus, saya akan memilih memainkan yang versi GBA saja, yang menurut saya memiliki cerita yang lebih fokus dan mode balapan yang seru. Entahlah, saya kecewa dengan game ini tapi lebih kecewa lagi pada Konami yang tidak bisa membawa kembali kesuksesan Turtles in Time dalam game ini. Dari skala 1 sampai 10, saya beri game ini nilai impresi 6 yang artinya kurang layak untuk dimainkan kembali. Semoga saja game-game kura-kura ninja berikutnya memiliki gameplay yang lebih variatif, inovatif, dan tentunya keren, paling tidak bisa menyamai game kura-kura ninja terbaik menurut saya, Turtles in Time. (gj)

*NB: Gambar screenshot diambil dengan menggunakan Printscreen.

No comments:

Post a Comment